PUSAKA SAUJANA INDONESIA : BENTENG KERATON BUTON

Sulawesi merupakan pulau yang memiliki banyak sumber daya alam dan tempat wisata yang mengagumkan. Tak heran kini Pulau Sulawesi menjadi salah satu tujuan pariwisata yang ramai dikunjungi para turis lokal maupun mancanegara. Salah satunya adalah Benteng Keraton Buton. Benteng Keraton Buton terletak di Kota Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.


Benteng Keraton Buton atau disebut juga Benteng Keraton Walio terletak di Kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Benteng ini merupakan bekas ibu kota Kesultanan Buton memiliki bentuk arsitek yang cukup unik. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar. Selain menjadi benteng terluas di dunia, Benteng Keraton Buton memiliki bentuk unik yang terbuat dari batu kapur. Dulunya benteng ini dijadikan tempat pertahanan, namun kini menjadi objek wisata yang menampilkan sejarah Kesultanan Buton dengan pemandangan Kota Bau-Bau yang menakjubkan.

Nama benteng Wolio berasal dari kata Welia yang berarti membabat, karena konon kabarnya sebelum pembangunan benteng lebih dahulu dilakukan pembabatan/pembersihan pohon-pohon. Benteng Wolio didirikan pada masa pemerintahan Sultan Buton III Makengkuna (1591-1596). Sultan ini membangun boka-boka. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh Sultan Buton IV Dayanu Ikhsanuddin (1596-1632). Beliau membangun baluara dengan formasi mengelilingi lokasi pemukiman termasuk keraton. Setiap bastion dilengkapi meriam-meriam buatan Eropa. Sebelum pembangunan benteng selesai, sultan meninggal dunia. Penggantinya Sultan Abdul Wahab masih dibawah umur. Pembangunan benteng dilanjutkan oleh Gafur Wadudu (Sultan VI: 1635-1645) hingga selesai. Benteng ini didirikan sebagai benteng pertahanan dan juga menjadi pusat peradaban masyarakat Buton saat menghadapi penjajah Portugis, selain melindungi diri dari serangan bajak laut. Keberadan Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kesultanan Buton. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.

Salah satu kebudayaan buton yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Buton adalah Pekande-kandean. Pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka di medan laga. Pekande-kandea ini bisa dibilang sebagai budaya kebersamaan yang diwujudkan dalam pesta makan. Paduan tradisi yang memuat kearifan lokal dan kuliner yang sarat makna. Nilai universal berpadu dengan lokalitas. Ritual pekande-kandea juga dilakukan untuk acara pertemuan muda-mudi. Lewat acara ini, banyak pemuda menemukan jodoh. Biasanya para pemuda memilih dulu gadis yang disukainya sebelum pekande-kandea dimulai. Sejurus setelah ada aba-aba, pemuda itu memburu tempat di depan talang yang ditunggui gadis.


ARSITEKTUR

Benteng Keraton Buton sendiri didirikan pada masa kesultanan Buton dan memiliki tembok keliling sepanjang 2740 m atau 2,7 km. Di dalam benteng terdapat bangunan mesjid, istana, makam-makam sultan dan pejabat tinggi, perkampungan penduduk dengan rumah-rumah tradisional, dan lain-lain. Benteng ini berfungsi sebagai pertahanan yang berupa tembok keliling guna melindungi istana (kamali) dan lingkungannya. Benteng Wolio dibuat dari batu gunung dan karang yang direkatkan dengan putih telur. Tinggi dan tebal temboknya tidak sama, mengikuti kontur tanah atau lereng bukit. Pada bagian-bagian bukit yang terjal tinggi tembok mencapai 4 m, sedangkan ketebalan dinding terdapat 2 lapis yang diperkirakan sampai 3 m. Pada bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap sebagai penahan/penguat.

Berdasarkan deretan sejarah bahwa kokohnya bangunan benteng menandakan sebuah kejayaan suatu kerajaan. Benteng Keraton Buton sendiri merupakan salah satu benteng yang tidak  dapat dihancurkan oleh bangsa Belanda. Hal ini dikarenakan daerah tersebut berada di dataran tinggi pegunungan Buton. Setiap pintu, dipasang meriam sebagai bentuk penjagaan. Benteng ini memiliki tiga bagian penting, yaitu Badili, Lawa, dan Baluara.
1. Badili (Meriam)
Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.
2. Lawa
Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia.
Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran ‘na’ menjadi ‘lawana’. Akhiran ‘na’ dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik “nya”. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 lawa itu memiliki nama-nama lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.
3. Baluara
Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Buton IV) bersamaan dengan pembangunan ‘godo’ (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak di atas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton. Ke-16 baluara itu adalah baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.
Tiap pintu gerbang dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Di dalam kompleks benteng ada makam Sultan Buton yang memerintah tahun 1788-1791. Ada juga Masjid Agung Wolio atau Masjid Al Muqarrabin Syafyi Shaful Mumin. Di depan masjid terdapat tiang bendera yang usianya mencapai 300 ratus tahun. Tiang yang berdiri di samping masjid Keraton Buton tersebut merupakan tempat mengibarkan bendera Kesultanan Buton dan saat ini tiang sudah berusia sekitar 300 tahun.
Tiang bendera didirikan diabad ke-17 tepatnya pada 1721 di masa Sultan Sakiuddin Darul Alam untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton berbentuk segi tiga yang dalam bahasa setempat disebut longa-longa. Tiang bendera ini disebut juga dengan nama Kasulaana Tombi terbuat dari kayu jati. Tingginya 21 meter dengan area keamanan berdiameter sekitar 25 sampai 70 cm.






Referensi:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN - 4

Himeji Castle, Hyogo Prefecture, Japan

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN - 1