Otonomi Daerah 2

XIV Otonomi II 

Pemanfaatan dan Pendistribusian Hasil SDA Menurut UU No. 25 Tahun 1999

   Adanya penerapan otonomi daerah ini juga agar pengelolaan SDA di setiap sudut daerah di Indonesia lebih mudah dan mendekatkan komunikasi pada masyarakat daerah yang terpencil dengan memperhatikan kebudayaan khas dan lingkungan alam setempat. Sehingga kebijakan publik mudah disosialisasikan agar diterima baik oleh masyarakat daerah, memenuhi kebutuhan dan keadilan masyarakat bawah. Di sinilah asas desentralisasi dan dekonsentrasi berperan besar dalam menguatkan hubungan pemerintah dengan masyarakat sampai ke wilayah terpencil. 

   Kewenangan pemerintah daerah juga mengatur kebijakan ekonomi daerahnya masing-masing. Karena setiap daerah memiliki beragam potensi SDA, dari potensi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertambangan. Potensi itulah yang dimanfaatkan dan dikelola untuk memakmurkan kesejahteraan rakyat daerah penghasil dan rakyat seluruh negara secara efektif, efisien, dan partisipatif. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa: 

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 

   Agar sumber daya alam ini bisa dikelola atau dalam pengelolaanya tidak disalahgunakan, maka perlu kerjasama oleh berbagai pihak sehingga tidak terjadi “salah sasaran” dalam pengelolaan SDA. 

Pendistribusian hasil SDA dan Keterkaitannya dengan UU No. 25 Tahun 1999
  1. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 
  2. Bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. 
  3. Bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan,perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. 
  4. Bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 
Pasal 6 Dana Perimbangan pada UU ini juga menguatkan keterkaitan hal ini

(1) Dana Perimbangan terdiri dari:
  • Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
  • Dana Alokasi Umum;
  • Dana Alokasi Khusus. 
(2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah. 

(3) Penerimaaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

(4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.

(5) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

(6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:


   Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.

   Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.


Sumber:

UU No. 25 Tahun 1999 http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=353
UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN - 4

Himeji Castle, Hyogo Prefecture, Japan

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN - 1